Hmm.. it’s Friday..
Sampe juga akhirnya ke hari jum’at, walaupun hari sabtu besok masih ada satu agenda di kampus, tapi paling ga bisa santai sedikit melepasakan kepenatan seminggu ini.
Diri yang produktif akan membawa banyak hal dalam kehidupan tiap orang. Etos kerja, mobilitas, loyalitas tinggi bisa menghasilkan sesuatu yang membanggakan. Barusan gue ngeliat facebook dosen gue. Gila abibes bray, 2 minggu German, sampe Jakarta malem, besok sorenya langsung cabut ke Bali, terus besok malemnya balik lagi ke Jakarta. There’s no time for jet lagging.
Dan setelah ngeliat facebooknya dia, walaupun sibuk tapi tetep dia produktif nulis, gue jadi terangsang. Hmm.. gad eh ganti, termotivasi. Gue seakan diberi gaya dorong untuk melangkah lebih cepat ke depan. Seakan gue lagi diikutin 2 orang homo di Detos kayak tadi mau pulang. Digodain bray gue, katanya..
“ih, kok buru-buru maat sih jalannya..”
Astaga, itu gue langsung merinding boss. Sumpe tekewer-kewer ga boong. Langsung aja, wuuusss.. ngibrit boss. Daripada pulang pantat lo longgar. Makasih deh gue. Lo aja sono ama temen-temen lo yang metal.
Balik ke motivasi dosen gue. Bukan. Bukan dia memotivasi gue untuk melangkah lebih cepat. Tapi memotivasi gue untuk nulis lagi dalam seminggu terakhir. Padahal sebelum minggu ini, posting terakhir gue taun lalu. Kacau ga? Kalo lagi stuck, yaudah selamet deh lo.
Tapi, ga selamanya produktif kita, gerak cepet kita, militansi kita, membawa dampak yang baik. Masih harus ada, wajib, kudu, gak boleh gak, satu factor yang namanya waktu. Waktu, sob. Penting abibes. Kenapa penting? Ilustrasi gampangnya gini.
Kita ambil contoh dosen gue aja. Dia punya waktu 2 minggu di German. Terus satu hari setelah sampe ada acara di Bali. Terus balik lagi besoknya ke Jakarta. Kalo kita cermatin bahwa waktu yang ada itu begitu sempit. Tapi entah kenapa timing acara yang beruntun begitu bagus. Selesai di satu acara, istirahat sebentar, sambung ke acara lain. Tanpa harus mengorbankan salah satunya. Indah bukan kalau begitu.
Tapi coba deh kalo misalkan acara di Bali itu pas hari dia pulang dari German, dan jadwal ngajar di Jakarta juga maju jadi dua hari lebih cepet. Ga bisa kan semua agenda itu diselesain dengan baik? Semua butuh timing yang mendukung kan? Iya, ga ada jawaban lain.
Nah, timing inilah yang ga pernah berpihak ke gue. Dan bahkan gue sendiri gagal membuat sesuatu dalam timing yang tepat. Ketika semua harusnya indah pada waktunya, tapi kemudian tercoreng oleh hal lain karena kita ga melakukannya lebih awal atau karena kita terlalu cepat untuk memulai. Kemungkinan lain karena kita belum menyelesaikan suatu urusan sehingga gak mampu beranjak ke urusan lain.
Tapi satu yang pasti dari hati terdalam. Gue ga mau terburu-buru. Gue butuh aklimatisasi. Penyelarasan iklim antara hati sama keadaan. Mungkin terkadang gue terlalu lancang berbicara. Terlalu tergesa dalam bertindak. Tapi kali ini nampkanya tensi tinggi emosi harus segera dikurangi. Biarlah kembali kepada titik awal dengan damai. Baru begitu normal, kita kembali membuat kejutan.
Lalu bagaimana dengan kata terangkai yang terlanjur menganak sungai? Biarlah itu menjadi sebuah sinyal awal, untuk menjaga perasaan. Seakan meberi kabar tentang jiwa terdalam.
Ketika diam menyimpan beribu makna. Semoga ini bisa menjadi jawab dari sebuah tanya yang suatu hari nanti mungkin ada. Tentang apa yang sedang terjadi antara kita. Karena semua akan indah pada waktunya. Jika kita menunggu dengan setia.
Biarlah dosen gue beristirahat sejenak dari German, terus ke Bali, dan kembali lagi ke Jakarta. Dengan waktu yang beruntun tertata rapih. Tanpa harus mengganggu satu dengan yang lain.
i will not get in a rush, and I will follow my own pace.
Maaf kalo semua mengganggu perasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar