Gue kebangun dari tidur lelap gue. Gak sadar kalo ternyata ketiduran dari tadi abis maghrib dan sekarang udah hampir setengah 4. Setelah cuci muka dan minum seteguk air, gue coba menyatukan lagi pikiran dan hati gue, mencoba sadar dan inget dimana koordinat gue. Aman, gue masih di kamar kosan, belom terjun ke bawah. Oke. Sedemikian lelahnya gue sehingga harus terlelap begitu kalap.
Gue duduk dipinggir kasur, gue inget tadi sempet beberapa kali kebangun. Pertama gara-gara telepon yang gak gue angkat, Cuma denger aja musiknya main, begitu selesai gue silent dan lanjut tidur. Kedua, gara-gara kamar sebelah teriak kenceng banget waktu Indonesia gol-in. Sejujurnya gue emosi tuh, pengen banget teriak “eh, goblok, berisik banget lo, lagi tidur gue kaget, tai!!!”, Cuma gak jadi karena John badannya segede gorila trus temen-temennya banyak. Gak deh, masih pengen maen basket, gak mau tangan gue remuk lebih dulu. Eh, setau gue namanya Rahmat tapi kenapa temen-temennya manggil John? Hmm.. mungkin nama aslinya John Rahmat, who knows? Yaudah gak penting.
Kembali ke diri gue yang masih manyun dan semrawut. Ngeliat sekitar kamar berantakan kayak mukanya adek angkatan gue di kampus si Friska. Eh, masih berantakan friska deh. Tenang, dia gak tau blog gue, kecuali temannya memberi tahu. Hhhh gue yakin nih dikasih tau. Hahaha.
Gue merenung, mengingat, merasakan apa yang selama ini terjadi. Mencoba berfikir tenang di kesunyian malam. Secara jernih dan obyektif, tentang apa yang selama ini gue lewatin. Ya, mungkin dulu nampak begitu indah. Tapi kita gak hidup untuk satu dua hari ke depan. Tapi kita hidup untuk selama Tuhan memberi nafas yang insya Allah panjang. Lalu pertanyaannya, apakah hidup yang panjang itu akan terus dilalui dengan keadaan seperti ini? Berada dalam kejauhan. Berada dalam ketiadaan. Berada dalam kehampaan.
Gue inget rumus Fisika tentang gravitasi. Gila gak, bangun tidur jam 3 pagi inget Fisika. Ngeri kan lo? Yang rumusnya,
F = G M1 . M2 / R2
G Cuma sebagai konstanta yang selalu ada dalam interaksi dua benda, juga pada manusia. M1 massa benda pertama dan M2 massa benda kedua. Lalu, R2 jarak antara kedua benda. Aah, pasti kalo udah begini ketebak mau nulis apa. Tapi yaudah kan gue yang nulis, jangan rewel. Hehehe.
Ternyata ketika mengandalkan bobot normal dua benda dengan jarak yang begitu jau akan menghasilkan gaya tarik menarim yang tidak terlalu besar. Coba kita perhatikan apa yang terjadi kalo bobot kedua benda dinaikan dengan jarak yang tetap kayak di atas. Maka nanti hasil akhir juga akan lebih besar. Atau, cara kedua adalah dengan bobot normal tetapi kita ganti jarak menjadi begitu dekat maka hasil pun akan lebih besar bahkan jauh lebih besar daripada bobot benda yang sudah dinaikan tetapi jarak tetap jauh. Ini bisa terjadi relatif apakah bobot yang dinaikan tidak cukup bisa mengkompensasi jarak atau jarak yang dipotong menjadi begitu dekat.
Ternyata cukup satu paragraf untuk menjelaskan semua ini. Tetapi eh tetapi, kedua pilihan itu sayangnya tidak cukup relevan untuk masa ini karena jarak yang memang terlanjur tidak bisa didekatkan dan maksimisasi bobot sedemikian besar tidak bisa karena agaknya terlalu memaksa ambang batas kewajaran.
Lalu, apa yang harus menjadi pilihan terbijak? Agar tidak ada yang merasa dipaksa untuk “menaikan” bobot atau “mendekatkan” jarak, lebih baik gaya tarik menarik sementara menjadi menuju titik nol. Menuju tidak berarti sampai pada nilai, tapi menuju berarti mendekati namun tak menyentuh. Karena pada hakikatnya, kepada siapapun, dengan siapapun, gaya itu selalu ada. Namun bedanya, gaya yang besar itu dicukupkan, karena energi yang diberikan untuk ke depannya tidak lagi efisien. Kita tetap bisa berinteraksi dengan gaya yang normal. Demi kebaikan kita semua.
Gelapnya malam akan segera usai. Sebelum berganti menjadi siang, biarkan semesta dijemput pagi yang damai. Pagi yang memberi sinar perlahan agar semua menjadi jelas dan terang. Dan biarkan khayalan malam berlalu, untuk hadapi realita dikehidupan baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar