Introducing of Discourse Studies. Bersampul kuning pudar. Tebal sekitar 300-an halaman. Menyimpan berbagai jawaban dari banyak pertanyaan.
Buku itu yang akhirnya gue temuin di perpustakaan FIB bareng kolega yang lama tak jumpa. Caelah, kolega, untung gak keluar handai taulan. Kayak pujangga jaman dulu. Ronald Silalahi-lah orang yang akhirnya mempertemukan gue dengan buku itu dan menjelaskannya. Iyalah, gila aja gue baca, udah sastra, bahasa inggris pula. Ke laut aje lo.
Dan hari itu juga gue mendapati jawaban atas rasa penasaran gue akan sebuah pertanyaan. Sedaaaap. Gue kembali ke memori beberapa minggu lalu, ketika temen gue cerita tentang bahasa isyarat. Dia ngajarin gue untuk bilang ‘gue benci lo’, ‘gue suka lo’, ‘gue tinggal di Jakarta’, dan lainnya. Yang paling gue inget waktu dia mengisyaratkan dengan begitu lucu kata ‘Jakarta’ pake tangan ke atas dan jari tangan menguncup dan muka tak bersalah. Ah, ternyata itu representasi dari monas yang ada di jakarta. Menarik.
Dia juga nulis blog tentang isyarat ini dengan begitu bagus dan beberapa minggu gue hilang ilmu buat ngebales blognya sampe di hari ini gue baru ngerti. Gue bukan gak ngerti sama tulisannya, tapi gue orang yang selalu mau tahu dasar sesuatu terjadi, which is disini dasar komunikasi. Ternyata komunikasi gak sekedar sender dan receiver yang kirim informasi lalu begitu aja dimengerti. Tetapi ada proses penting di dalamnya sebagai penyelaras gelombang interpretasi. Nama di buku pusaka kuning itu ‘State of Affair’. Kalo state of affair antara sender dan receiver sama maka komunikasi bisa berjalan baik karena informasi dapat dimengerti.
Terus gimana bisa tangan kuncup ke atas dengan muka lucu kemarin itu berarti Jakarta? Nah, ternyata dalam state of affair gak cuman kata yang terucap atau tertulis kayak blog ini untuk bisa dimengerti bersama. Simbol pun bisa jadi pembawa informasi dalam komunikasi. Gampang banget contohnya, gimana artinya kalo dijalan ada huruf P di coret miring garis merah? Kita tau itu artinya gak boleh parkir. Apa artinya tanda garis putih horizontal dalam lingkaran merah? Kita juga tau kalo itu dilarang masuk atau kalo kata orang Jakarte turunan Belande disebut ‘perboden’. Kita tahu arti simbol itu semua. Karena itu semua disebut conventional sign. Simbol konvensional yang telah tersepakati bersama. Gak ada bantahan atasnya.
Permasalahan yang sering muncul justru di dalam diri kita sendiri sebagai pelaku komunikasi dua arah. Terkadang, jika informasi yang terlalu ambigu, bisa menjadi oposisi biner dalam penafsirannya. Halah apa lagi itu oposisi biner? Ya biner=dua, oposisi=berlawanan, jadi dua hal yang berlawanan. Gak ngerti juga? Cebok dulu sana.
Sebenarnya isyarat sudah begitu jelas. Hanya saja kita takut untuk menafsirkannya dan mengakuinya terlebih dulu. Gak perlu seorang yang jenius untuk tau ada apa antara kita. Lagu di playlist lagi mainin ‘we could be in love’ dari Lea Salonga,
Anyone who seen us
Knows what’s going on between us
It doesn’t take a genius
To read between the lines
And it’s not just wishful thinking
Or only me who’s dreaming
I know what these are symptoms of
We could be in love
Gila, dahsyat banget ini lagu muncul di saat yang tepat. Yang paling keren itu lirik ‘to read between the lines’. Ya, diantara garis emang seharusnya kosong. Tapi tidak dengan kita, karena kita mengisinya dengan sesuatu.
Tetapi, ketika kita meragu dan tak yakin dengan apa yang kita rasa pada akhirnya penyesalan yang berbicara. Namun, ini bisa dimaklumi karena ada batas norma yang melarang untuk mengungkap kata. Kalo kata temen gue ‘biarlah diam menyimpan beribu makna’ dan gue tambahin ‘sampai nanti jawab itu ada’. Meski akhirnya malu, ragu, dan menjaga lebih kuasa dan menjadi pagar antara sehingga semua terpendam begitu lama.
Kita bagai dalam satu kereta. Didalamnya kita bersenda gurau, bercanda, dan tertawa. Bahkan keluh kesah pun ikut menjadi rangkaian kata. Tapi semua itu tak menegaskan arah sebenarnya tujuan kita. Apakah akan berhenti di stasun kecil atau sampai pada tujuan akhir. Hingga suatu saat karena pasti itu menjadi langka, tanpa banyak bicara kau sudahi semua. Dan begitu turun dari kereta di suatu pemberhentian, barulah terungkap kalau kita sebenarnya memiliki tujuan yang sama.
Pertanyaannya, akankah ada lagi kereta yang datang untuk meneruskan perjalanan kita? Akan kah kereta itu memberi tempat untuk kita berdua? Atau hanya salah satu di antara kita?
Malam ini begitu gelap. Tak ada rembulan yang menyapa. Begitupun purnama yang biasa memberi cahaya, jauh dari pelupuk mata. Dia ada disana, namun tertutup oleh awan kelam putusnya asa.
1 komentar:
Ikut membaca; mulai ada kekaguman dengan tulisanmu. Idenya sudah kronologis yang tersimbolkan lewat kata-kata lumayan "ngepop".
Cuman kayaknya lupa akan symptoms dan signal kayaknya. Terus juga perlu dingetin dikit bahwa buku yang jadi rujukan itu bukan buku sastra, melainkan buku linguistik. Beda lho, bro... :)
G'luck deh... Tetep semangar menulis.
Salam :)
Mochammad
http://mochammad4s.wordpress.com/
http://notulabahasa.com/
http://piguranyapakuban.deviantart.com/
Posting Komentar