Matahari pagi ini cukup cerah. Menerangi langit
yang semalam suntuk diguyur hujan. Kini terasa hembusan udara sejuk sisa
semalam. Kini gue terpaku di jendela besar kamar gue yang mengarah keluar,
ditemani segelas kopi panas. Uapnya mengepul liar, seakan mencari jalan keluar
dari dalam gelas mencari udara bebas. Kopi pertama pagi ini, sedikit lebih
pahit dari biasanya. Bukan karena creamer atau gulanya yang gak sesuai takaran,
tapi karena ada sedikit sembilu luka bekas kenangan tadi malam. Gue pun tidak
ragu menyesapnya, menikmati aroma dan rasanya. Pahit.
Jam di tangan sudah menunjukan pukul 07.00 tepat,
waktunya untuk berangkat. Waktu yang pas
dari komplek perumahan gue untuk sekalian mampir beli nasi uduk enak di deket
kantor buat sarapan, karena kalo telat sedikit pasti udah keabisan. Tapi, dalam
perjalanan hari ini agaknya sedikit berbeda, karena gue lebih sibuk benerin
kaca spion kiri dan kanan daripada mencari jalan untuk melewati kemacetan. Bahkan
urusan kaca spion ini mengalihkan prioritas pikiran gue akan enaknya nasi uduk
yang udah gue dambakan.
Kaca spion ini kok kayaknya gak mau banget diajak
kompromi. Selama gue coba adjust kiri kanan – atas bawah, selama itu pula gue
gak menemukan posisi yang tepat. Layaknya orang yang mengidap OCD (Obsessive
Compulsive Disorder), gue terus sibuk sama spion ini, untuk meyakini,
setidaknya pandangan gue, bahwa gue sudah menemukan sudut yang pas untuk
ngeliat ke belakang. Saking sibuknya gue sama ini spion gak kerasa gue sudah
mendarat di parkiran kantor dan baru sadar bahwa harusnya tadi gue mampir beli
nasi uduk. Tapi, rasa males gue lebih kuat untuk naik ke lantai 2 dan masuk ke
ruangan. Walaupun gue tau bahwa kerjaan hari ini lumayan banyak dan gue harus
punya persiapan energy yang cukup pagi ini.
Sampai di ruangan, gue gak abis piker sama kejadian
barusan. Menurut gue ini agak lucu, karena entah kenapa seakan sulit sekali
menengok ke belakang melalui sudut pandang yang tepat. Padahal dalam perjalanan
yang terus maju, perlu banget sesekali melihat ke belakang. Tapi sepanjang
perjalanan, agaknya masa lalu itu terus menghindar. Padahal fungsinya banyak banget.
Bisa untuk memastikan bahwa apa yang sudah kita lewati itu benar. Gak ada
kucing kelindes, gak ada orang keserempet, atau mungkin gak ada otak yang
berceceran, sampai memastikan gak ada hati yang terluka. Halaah.. Bisa juga
buat menjadikannya pelajaran. Ya, pelajaran yang menuntun kita kearah mana melangkah menuju masa depan. Coba kalo gak ada spion tiba-tiba
ambil kanan, kalo ada motor nyelip, keserempet, terjungkal ke trotoar, gawat
itu urusan. Spion memberikan kita persetujuan, bahwa pijakan kaki kita benar. Bisa juga untuk
sekadar mengenang, bahwa yang sudah kita lewati itu indah, damai, dan baik. Untuk
berterima kasih pada kenangan yang telah mendewasakan kita hari ini. Sehingga kita
tahu gimana cara untuk mempertahankan masa lalu yang baik itu sampai
seterusnya. Bukan malah merusaknya.
Tapi jam sudah menunjukan pukul 08.00, waktunya
untuk menjadi budak korporasi. Gue enyahkan lamunan tadi dan memberikan focus kepada
kerjaan. Namun, gak bereselang lama lagi
asyik kerja, cobaan pun datang lagi ke gue. Harddisk eksternal gue tiba-tiba
gak mau terbaca di laptop gue. Gue coba di PC gue, hasilnya pun sama. Padahal ada
data penting yang gue butuhkan. Akhirnya gue bawa ke orang IT dan didiagnosa
bahwa ada bad sector dititik nol, which is titik dimana awal sebuah harddisk
bisa dibaca. Gampangnya kalo kena bad sector dititik ini adalah, gimana mau
baca data didalamnya, pintu masuknya aja terkunci. Nahas. Semua data yang udah coba
gue himpun dan simpan dengan baik, kini
sudah gak bisa dikenal, bahkan ditemukan.
Kelucuan pun berlanjut menurut gue. Data-data yang
udah coba gue himpun dan jaga sebaik mungkin, seakan jadi orang asing yang enggan
untuk dikenal. Menutup dirinya rapat-rapat, gak mengijinkan sang empu untuk
mengelolanya. Fungsinya memory ini kan merapikan kenangan, untuk sewaktu-waktu kita
buka, kita renungkan, dan menjadi dasar pijakan langkah ke depan. Kok ya malah
sekarang seakan kita lupa ingatan?
Gak berenti sampe disitu. Siang hari gue ada janji meeting dengan salah
satu EO yang menang tender untuk running sebuah event di kantor gue. Lagi semangat
membuncah penuh gelora menjelaskan project yang harus mereka jalani tiba-tiba
LCD Proyektor gue berubah warna. Yang tadinya cerah ceria putih bersih jernih
bening tetiba langsung menjadi kuning. Redup pula. Pas gue liat, indicator yang
bertuliskan ‘lamp’ kedap kedip kayak ultraman mau mati. Nasib. Alat yang
harusnya bisa memproyeksikan sesuatu menjadi lebih besar dan jelas malah
berlaku paradoks.
Proyektor ini kan tampilan besar pikiran. Menampilkan
dengan sebenar-benarnya mengenai cerita kehidupan. Tanpa ada intervensi sebuah
kepentingan. Tapi sekarang, dia seakan enggan untuk menunjukan. Dia seakan malu
dan mencoba mengenyampingkan suara kejujuran. Dia lebih memilih meredup lalu lambat
laun hilang dalam kegelapan.
Gue pun mencoba melupakan semua kejadian ini. Kembeli
terpekur menekuni kerjaan yang lumayan banyak. Gue bertekad untuk selesain
semua kerjaan ini, karena gue butuh istirahat. Two weeks in a row berkeliling
keluar kota ternyata disamping menyisakan kegembiraan, tapi juga menitipkan
kelelahan. Hingga akhirnya satu kerjaan terakhir selesai bertepatan dengan jarum
jam menunjuk angka 19.30. Dengan lunglai
gue pun menuju parkiran dan kembali ke rumah.
Sampai di kamar, gue rebahkan diri gue, mencoba
merasakan tulang dan sendi yang sempat dislokasi, gue biarkan untuk kembali
pada posisi. Dalam pembaringan ini gue
pun merenung dan mengevaluasi kerjaan gue hari ini. Apakah cukup produktif? Apakah
sudah buat orang lain tersenyum? Hingga renungan ini beralih pada kejadian yang
gue alami dari pagi hingga petang. Gue coba berdiam sejenak, membiarkan
kandungan Kolin di otak untuk membuka ingatan dan AA DHA mengambil kesimpulan.
Gue pun akhirnya sampai pada satu kesimpulan,jika
masa lalu telah menjadi racun yang membuat kita lupa ingatan, jika serpihan
kenangan muak untuk diperbicangkan, dan proyeksi isi nurani lebih memilih
tenggelam dalam kegelapan, buat apa semua ini kita pertahankan? Mungkin keangkuhan
telah lebih besar mengambil peranan. Keangkuhan sudah meraja dalam pikiran. Tak
ada tempat, sedikit pun… Tak ada waktu, sedikit pun… Kecuali, Keangkuhan.
Jika kau tak
kuasa menghilangkan bekas luka, berilah ia sedikit ruang dan ijinkanlah ia
tetap ada untuk sekadar mengingatkan bahwa masa lalu kita nyata (DMA).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar