Jumat, 12 April 2013

Angkuh

Matahari pagi ini cukup cerah. Menerangi langit yang semalam suntuk diguyur hujan. Kini terasa hembusan udara sejuk sisa semalam. Kini gue terpaku di jendela besar kamar gue yang mengarah keluar, ditemani segelas kopi panas. Uapnya mengepul liar, seakan mencari jalan keluar dari dalam gelas mencari udara bebas. Kopi pertama pagi ini, sedikit lebih pahit dari biasanya. Bukan karena creamer atau gulanya yang gak sesuai takaran, tapi karena ada sedikit sembilu luka bekas kenangan tadi malam. Gue pun tidak ragu menyesapnya, menikmati aroma dan rasanya. Pahit.

Jam di tangan sudah menunjukan pukul 07.00 tepat, waktunya untuk berangkat.  Waktu yang pas dari komplek perumahan gue untuk sekalian mampir beli nasi uduk enak di deket kantor buat sarapan, karena kalo telat sedikit pasti udah keabisan. Tapi, dalam perjalanan hari ini agaknya sedikit berbeda, karena gue lebih sibuk benerin kaca spion kiri dan kanan daripada mencari jalan untuk melewati kemacetan. Bahkan urusan kaca spion ini mengalihkan prioritas pikiran gue akan enaknya nasi uduk yang udah gue dambakan.

Kaca spion ini kok kayaknya gak mau banget diajak kompromi. Selama gue coba adjust kiri kanan – atas bawah, selama itu pula gue gak menemukan posisi yang tepat. Layaknya orang yang mengidap OCD (Obsessive Compulsive Disorder), gue terus sibuk sama spion ini, untuk meyakini, setidaknya pandangan gue, bahwa gue sudah menemukan sudut yang pas untuk ngeliat ke belakang. Saking sibuknya gue sama ini spion gak kerasa gue sudah mendarat di parkiran kantor dan baru sadar bahwa harusnya tadi gue mampir beli nasi uduk. Tapi, rasa males gue lebih kuat untuk naik ke lantai 2 dan masuk ke ruangan. Walaupun gue tau bahwa kerjaan hari ini lumayan banyak dan gue harus punya persiapan energy yang cukup pagi ini.

Sampai di ruangan, gue gak abis piker sama kejadian barusan. Menurut gue ini agak lucu, karena entah kenapa seakan sulit sekali menengok ke belakang melalui sudut pandang yang tepat. Padahal dalam perjalanan yang terus maju, perlu banget sesekali melihat ke belakang. Tapi sepanjang perjalanan, agaknya masa lalu itu terus menghindar. Padahal fungsinya banyak banget. Bisa untuk memastikan bahwa apa yang sudah kita lewati itu benar. Gak ada kucing kelindes, gak ada orang keserempet, atau mungkin gak ada otak yang berceceran, sampai memastikan gak ada hati yang terluka. Halaah.. Bisa juga buat menjadikannya pelajaran. Ya, pelajaran yang menuntun kita  kearah mana melangkah menuju  masa depan. Coba kalo gak ada spion tiba-tiba ambil kanan, kalo ada motor nyelip, keserempet, terjungkal ke trotoar, gawat itu urusan. Spion memberikan kita persetujuan, bahwa  pijakan kaki kita benar. Bisa juga untuk sekadar mengenang, bahwa yang sudah kita lewati itu indah, damai, dan baik. Untuk berterima kasih pada kenangan yang telah mendewasakan kita hari ini. Sehingga kita tahu gimana cara untuk mempertahankan masa lalu yang baik itu sampai seterusnya. Bukan malah merusaknya.

Tapi jam sudah menunjukan pukul 08.00, waktunya untuk menjadi budak korporasi. Gue enyahkan lamunan tadi dan memberikan focus kepada kerjaan.  Namun, gak bereselang lama lagi asyik kerja, cobaan pun datang lagi ke gue. Harddisk eksternal gue tiba-tiba gak mau terbaca di laptop gue. Gue coba di PC gue, hasilnya pun sama. Padahal ada data penting yang gue butuhkan. Akhirnya gue bawa ke orang IT dan didiagnosa bahwa ada bad sector dititik nol, which is titik dimana awal sebuah harddisk bisa dibaca. Gampangnya kalo kena bad sector dititik ini adalah, gimana mau baca data didalamnya, pintu masuknya aja terkunci. Nahas. Semua data yang udah coba gue himpun dan  simpan dengan baik, kini sudah gak bisa dikenal, bahkan ditemukan.

Kelucuan pun berlanjut menurut gue. Data-data yang udah coba gue himpun dan jaga sebaik mungkin, seakan jadi orang asing yang enggan untuk dikenal. Menutup dirinya rapat-rapat, gak mengijinkan sang empu untuk mengelolanya. Fungsinya memory ini kan merapikan kenangan, untuk sewaktu-waktu kita buka, kita renungkan, dan menjadi dasar pijakan langkah ke depan. Kok ya malah sekarang seakan kita lupa ingatan?

Gak berenti sampe disitu.  Siang hari gue ada janji meeting dengan salah satu EO yang menang tender untuk running sebuah event di kantor gue. Lagi semangat membuncah penuh gelora menjelaskan project yang harus mereka jalani tiba-tiba LCD Proyektor gue berubah warna. Yang tadinya cerah ceria putih bersih jernih bening tetiba langsung menjadi kuning. Redup pula. Pas gue liat, indicator yang bertuliskan ‘lamp’ kedap kedip kayak ultraman mau mati. Nasib. Alat yang harusnya bisa memproyeksikan sesuatu menjadi lebih besar dan jelas malah berlaku paradoks.

Proyektor ini kan tampilan besar pikiran. Menampilkan dengan sebenar-benarnya mengenai cerita kehidupan. Tanpa ada intervensi sebuah kepentingan. Tapi sekarang, dia seakan enggan untuk menunjukan. Dia seakan malu dan mencoba mengenyampingkan suara kejujuran. Dia lebih memilih meredup lalu lambat laun hilang dalam kegelapan.

Gue pun mencoba melupakan semua kejadian ini. Kembeli terpekur menekuni kerjaan yang lumayan banyak. Gue bertekad untuk selesain semua kerjaan ini, karena gue butuh istirahat. Two weeks in a row berkeliling keluar kota ternyata disamping menyisakan kegembiraan, tapi juga menitipkan kelelahan. Hingga akhirnya satu kerjaan terakhir selesai bertepatan dengan jarum jam menunjuk angka 19.30.  Dengan lunglai gue pun menuju parkiran dan kembali ke rumah.

Sampai di kamar, gue rebahkan diri gue, mencoba merasakan tulang dan sendi yang sempat dislokasi, gue biarkan untuk kembali pada posisi.  Dalam pembaringan ini gue pun merenung dan mengevaluasi kerjaan gue hari ini. Apakah cukup produktif? Apakah sudah buat orang lain tersenyum? Hingga renungan ini beralih pada kejadian yang gue alami dari pagi hingga petang. Gue coba berdiam sejenak, membiarkan kandungan Kolin di otak untuk membuka ingatan dan AA DHA mengambil kesimpulan.

Gue pun akhirnya sampai pada satu kesimpulan,jika masa lalu telah menjadi racun yang membuat kita lupa ingatan, jika serpihan kenangan muak untuk diperbicangkan, dan proyeksi isi nurani lebih memilih tenggelam dalam kegelapan, buat apa semua ini kita pertahankan? Mungkin keangkuhan telah lebih besar mengambil peranan. Keangkuhan sudah meraja dalam pikiran. Tak ada tempat, sedikit pun… Tak ada waktu, sedikit pun… Kecuali, Keangkuhan.

Jika kau tak kuasa menghilangkan bekas luka, berilah ia sedikit ruang dan ijinkanlah ia tetap ada untuk sekadar mengingatkan bahwa masa lalu kita nyata (DMA).

Tidak ada komentar: