Sabtu, 09 Agustus 2014

Because Every Hello Ends with a Goodbye



Bulan puasa tiap tahun selalu special rasanya buat gue, karena bulan puasa selalu meninggalkan sebuah kisah menarik dan berdampak besar dalam hidup gue. Contohnya selama 3 tahun belakangan, selalu ada sebuah cerita besar yang mengubah hidup gue ke arah yang, Alhamdulillah, menjadi lebih baik. Bulan puasa buat gue juga menjadi bulan yang paling romantis karena sihirnya membuat gue, Alhamdulillah lagi, masih dikasih perasaan untuk terus bercumbu mesra denganNya, Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk mengadu dan bercerita segala lara di dada.

Contohnya 2 tahun lalu, waktu bulan puasa adalah waktu gue nunggu wisuda setelah dinyatakan lulus dari UI. Jeda waktu yang cukup lama untuk nunggu wisuda gue isi dengan mengajar orientasi buat mahasiswa baru. Tak disangka tak dinyana, H-3 lebaran ada telepon dari salah satu perusahaan nutrisi terbesar di Indonesia untuk ajak join. Well, gak lama setelah itu, bahkan sebelum gue wisuda, gue udah officially diterima di sana.

Contoh lainnya adalah bulan puasa taun lalu. Waktu itu gue lagi dipercaya untuk pegang area timur Indonesia, yaitu Sulawesi dan Papua. Namun, ada hasrat besar dari diri gue untuk balik lagi ke Head Office. Setelah proses lumayan lama sekitar 5 bulan, jawabannya kembali datang di bulan puasa dimana gue dinyatakan lulus dan cocok untuk bertanggung jawab sama job dan channel baru di Jakarta.

Yang terkini adalah di bulan puasa tahun ini, yang baru beberapa hari kemarin telah berlalu. Sekitar 3 bulan ada GM dari salah satu perusahaan makanan di Indonesia yang mencoba mendekati gue untuk join ke perusahaannya.  Gue baru sadar ketika pada satu hari gue diajak ngopi sama da dan ngobrol panjang lebar dari jam 2 siang ampe jam 6 sore. Ujung-ujungnya selang seminggu, HRD perusahaannya dia kirim invitation untuk interview dan lagi-lagi jawabannya datang di penghujung bulan puasa bahwa gue diterima di sana. Meskipun prosesnya tidak semudah itu untuk pindah ke kantor baru, karena berbagai drama terjadi yang intinya perusahaan gue sekarang bersikukuh menginginkan gue untuk stay dengan berbagai daya dan upaya.

Pengambilan keputusan gue pun juga banyak menemukan lika liku, meskipun pada akhirnya gue memutuskan untuk pindah. Salah satu yang menjadi dasar pembelajaran gue hingga pada akhirnya gue pindah juga tercetus dari pengalaman gue 5 tahun silam, sewaktu gue masih jadi mahasiswa di UI, yang sekali lagi kejadiannya ini terjadi di bulan puasa.

Di penghujung puasa, seperti biasa kegiatan perkuliahan otomatis diliburkan dan juga kebetulan bersamaan dengan liburan semester. Karena udah gak ada guna kalo tinggal dikosan akhirnya gue memutuskan untuk pulang ke rumah.  Gue masih inget dengan jelas kejadian itu hari Jum’at sore menjelang Maghrib. Sebenernya gue udah tau dari status Twitter, yang waktu itu lagi digandrungi banget, bahwa jalanan macet banget. Bus dan kereta yang jadi moda transportasi penopang bagi mahsiswa bisa dibilang semi lumpuh karena udah ada yang nunggu berjam-jam gak kunjung tiba. Gue sih udah siap dengan hal ini dan memutuskan untuk naik kereta aja, karena lagi pengen santai dan menghabiskan waktu biar nanti pas sampe rumah tepat buka puasa.

Singkat cerita gue sampe di Stasiun UI dan langsung menuju peron mengambil posisi di tengah. Seperti biasalah, bulan Ramadhan emang ada aja cobaannya. Di sebelah gue ada cewek lagi duduk di bangku besi sendirian. Otomatis kalo udah gue bawa-bawa cewek ke dalam cerita pastilah menarik dan cantik. Awalnya sepeti biasa, gaya paling basi pada zaman itu adalah bertukar pandang dan senyum, kemudian perlahan bagaimanapun caranya biar gue bisa duduk deket dia. Rejeki emang gak kemana, orang yang duduk bareng dia di bangku besi itu pergi. Mungkin dia lelah menunggu yang ditunggu tak kunjung tiba.

Ketika gue duduk di sebelah dia, gue mencoba mencairkan suasana dengan scripting baku yang paling mainstream di stasiun.

“Pulang kemana?”

“Tebet”. Ketus amat.

“Oooh.. Udah lama? Dari jam berapa tuh kereta gak dateng?”

“Lumayan lah hampir sejam”. Masih aja dingin. Gue gak menyerah. Dan tidak akan.

Kalo udah begini ilmu sotoy is the best way,
“Oooh.. Bener tadi yang gue baca di Twitter ya, keretanya lama banget, katanya sih ada kecelakaan di Bogor. Paling juga orang ketabrak atau listrik mati?” Padahal masuk berita pun enggak.

“Ooh gitu? Ya ampun pantesan lama ya dari tadi gue nunggu. Lo pulang kemana?” Ah, menang satu langkah, pertahanan musuh goyah. Kalo ilmu di basket harusnya gue Drive masuk berharap dapet Foul, tapi untuk musuh model gini, cara paling tepat adalah Delay.

“Gue turun Cikini. Biasa juga kadang turun Tebet juga sih kalo lagi iseng”, padahal demi apapun belum pernah sekalipun gue turun di Tebet. Ilmu Kita-Tuh-Sama mulai dimainkan di tahap ini.

Akhirnya obrolan terus berkembang dan semaki menarik, sampe-sampe mau gue traktir es the manis karena mulut gue jadi kering ngeladenin dia ngoceh. Yang semenit kemudian gue inget bahwa kita lagi puasa.  Anaknya baik, seru, pikirannya luas, untuk mahasiswa seumuran kita pada zaman itu.
Jujur aja gue sangat menikmati momen itu, dengan segala keseruan, keceriaan, dan perdebatan di dalamnya. Gue pengen obrolan ini berakhir sampe memang keadaan yang bener-bener mengakhiri ini dan tak mengizinkannya untuk berlanjut. Sampe tiba-tiba, suara Bapak Stasiun yang khas dari cerobong suara bilang, “Dari arah timur, kereta Pakuan Express, turun di Tebet, Cikini, dst....” yang kemudian hilang bersama munculnya suara dengingan speaker murah. 

“Nah dateng juga. Siap-siap yuk. Semoga gak penuh ya, kita bisa dapet duduk” ajak gue ke dia dengan masih antusias meneruskan obrolan.

“Oh sorry, gue Cuma beli Ekonomi AC. Abis kata bapaknya yang dateng duluan Ekonomi AC. Kok malah jadi Express ya?” Sangat lumrah pada zaman itu karena Pak Ignasisu belum in-charge untuk membenahi PT KAI tercinta ini.

“Yaudah tuker aja di loket, kan bisa. Daripada lo kelamaan..”, saran dari gue yang gue tahu pasti itu gak mungkin karena lokomotif keretanya udah mulai nampak dari arah timur siap menyongsong dengan congkak.

“Yaudah gak apa-apa, lo aja duluan. Gue masih nunggu Ekonomi AC”, jawabnya (setengah) ikhlas.

Gak lama berselang kereta udah masuk di statsiun UI. Jiwa gue pun bertengkar di antara dua pilihan, gue stay or leave. Dua-duanya tetap akan berkahir sama. Gue sama-sama akan melewati stasiun-stasiun berikutnya. Sama-sama akan tetap turun di Cikini. Sama-sama akan sampe di rumah gue.   Yang membedakan adalah gue bisa melewati dalam kenyamanan obrolan, canda tawa,  dan hal indah lainnya yang pasti diinginkan banyak orang jika di posisi gue. Namun resikonya adalah waktu untuk sampe gak bisa diprediksi sama sekali, bahkan untuk sekadar tahu kapan kereta itu akan tiba menjemput. Gue pun harus bersiap dengan penuhnya kereta sehingga probabilitas untuk duduk sangat teramat kecil. Gue pun harus siap dengan pemberhentian yang begitu banyak di semua stasiun yang akan dilewati.

Atau, gue dengan rela meninggalkan kenyamanan obrolan itu, berjalan sepi sendiri, melepaska segala potensi dan kemungkinan positif, yang sekecil apapun itu akan ada beserta janji manis didalamnya. Namun, gue punya sebuah kepastian bahwa perjalanan gue ke tempat tujuan bisa dijamin jauh lebih cepat karena gue hanya harus berhenti di Tebet dan setelahnya tinggal turun di Cikini.  Gue akan sampe di tempat tujuan gue jauh lebih dahulu, tidak harus sering berhenti, dan bisa buka puasa tepat waktu di rumah.  Gue pun memiliki probabilitas dapat duduk yang nyaman lebih besar karena okupansinya Pakuan Express jauh lebih rendah. Gue pun bisa mengisi perjalanan gue dengan hal lainnya, salah satu dan pastinya adalah sambil baca novel yang baru aja gue beli waktu itu dengan tenang dan nyaman sehingga waktu gue akan produktif untuk nambah wawasan.

Dilematis memang. Namun, keputusan harus segera diambil. Walaupun hidup memang penuh misteri. Gue juga gak tau kalo ada force majeur yang akan terjadi di depan sana bersama kereta gue hingga malah perjalanan gue jauh lebih lama dan malah gak produktif sama sekali. 3 detik kemudian, insting naluriah gue memutuskan untuk ambil kereta Pakuan Express dan meninggalkan cewek yang belum lama gue kenal. Gue pun pamit dengan hormat agar tidak mengecewakan, meskipun wajahnya menyiratkan keberatan. Gue pun berterima kasih atas momen-nya yang begitu baik dan seru.

Selang 5 menit kemudian gue udah duduk manis di kereta, dingin, nyaman, sambil baca buku tapi gak fokus. Rasa sesal masih membekas. Rasa ingin berhenti dan kembali juga masih ada. Tiba-tiba gue berhenti dan melihat ke jendala di seberang gue setelah ada bunyi klakson dua kali yang panjang. Klakson yang jadi tanda ada kereta dari arah lain dan kita akan berpapasan. Selepas itu, gue pun menjadi jauh lebih tenang. Gue menjadi sangat ikhlas. Gue menjadi sangat bersemangat untuk meneruskan perjalanan ke depan. Karena apa? Karena gue yakin bahwa ternyata selalu ada kereta untuk kembali ke stasiun UI. Selalu ada kereta yang akan mengantarkan gue ke momen yang baru gue lewatin. Bahkan lebih indah..

Sama halnya, ketika gue melepaskan diri dari perusahaan Nutrisi terbesar di Indonesia dengan berbagai kenyamanannya, dengan berbagai keseruannya, dengan berbagai canda tawanya. Lalu gue harus siap menghadapi misteri yang gue pilih, mengarungi hidup baru yang, Insya Allah, lebih baik karena gue bisa melangkah lebih cepat, sampai ke tujuan lebih dahulu, sambil menjadikan mimpi melanjutkan studi untuk jenjang pasca sarjana menjadi hal yang benar-benar nyata saat ini. Rasa sesal, rasa rindu, rasa ingin kembali sirna seiring bertambahnya hari. Jika memang rezeki, gue pasti kembali. Jika bukan rezeki, gue yakin yang lebih indah akan datang sebagai pengganti.

Eventhough there’s always a goodbye in every hello, a chance to see new hello will stay forever..  

Tidak ada komentar: