Hari minggu ini
masih dalam suasana libur setelah Lebaran. Mumpung masih liburan, gue ingin
mengulang kebiasaan rutin gue setiap hari minggu yang udah lama gak sempet gue
lakuin. Beberapa bulan terakhir gue hampir selalu gak ada di Jakarta karena
waktu gue tersita dengan berbagai event
dan meeting di luar kota. Kalaupun
gue lagi di Jakarta, biasanya selepas sholat Subuh gue kembali terlelap dalam
pelukan selimut, mendengkur syahdu, dan akhirnya terbangun kira-kira jam 2
siang demi untuk membalas waktu tidur gue yang hilang dan mengais-ngais tenaga
untuk dikumpulkan, sebelum menghadapi hari-hari yang keras. Meskipun kesibukan
ini gue nikmati, tapi tetep aja kangen dengan kegiatan pribadi, terlepas dari
embel-embel kantor.
Akhirnya hari
Minggu ini gue bangun pagi. Selepas sholat Subuh gue langsung mandi, siap-siap,
dan berangkat gagah ke Sudirman. Yap, kebiasaan gue dulu setiap hari Minggu
adalah lari pagi paling gak 10 KM. Bukan untuk menyombongkan diri, tapi di
tahun 2014 gue berhasil menaklukan 21 KM dengan waktu 2 jam 40 menit di Jakarta
Mandiri Marathon. Not bad, for the first time setelah 8 bulan gak
lari pagi, which is ini lari pagi
pertama gue di tahun 2016, 10 km bisa dilahap dengan waktu 1 jam dan 10 menit
saja.
Seneng banget
rasanya bisa lari pagi lagi. Karena saat lari pagi adalah waktu gue bener-bener
sendiri dengan diri gue. Tanpa gangguan. Tanpa obrolan. Yang ada hanyalah gue
merasakan hembusan angin yang menerpa di depan, mendengar dengusan nafas gue
yang kadang tertatih tapi tersamar dengan derap langkah kaki melawan aspal, dan
khayalan apapun yang lagi melintas di depan gue secara liar. Gue pernah coba
iseng membandingkan bagaimana gue menjalani hari-hari gue setelah lari pagi di
hari Minggu.
Entah kebetulan
atau tidak, dengan berbagai asumsi dan menihilkan faktor lain, tapi biasanya
hari-hari gue setelah lari pagi di hari Minggu terasa lebih menyenangkan,
enteng dan mengasyikan. Mungkin betul apa yang dibilang sama Sasha Azeveda bahwa
“running is one of the best solutions to
clear the mind”. Atas dasar itu pada akhirnya gue selalu menyempatkan diri
untuk lari pagi di hari Minggu, seperti hari ini.
Setelah
berpeluh keringat, gue biasanya mengakhiri sesi lari di sebuah warung kopi
Jalan Sabang, namanya Saudagar Kopi. Tapi sayangnya hari ini masih tutup,
mungkin masih libur Lebaran. Hingga akhirnya gue mengganti kenikmatan ngopi
pagi dengan sarapan Soto Padang di depan Gerbang Utama Masjid Sunda Kelapa. Iya
emang gak sebanding. Tapi lapar itu gak bisa bohong.
Tapi, selain bernostalgia
dengan hari-hari Minggu gue beberapa tahun ini, entah kenapa gue juga pengen
bernostalgia dengan hari-hari Minggu waktu gue masih kecil. Sehingga setelah
kenyang makan Soto Padang, numpang ganti baju dan sholat Dhuha di Sunda Kelapa,
gue memantapan diri melajukan mobil ke daerah Tanjung Priok.
Sepanjang
perjalanan senyum selalu tersungging di bibir gue. Kenangan masa kecil
terlintas indah di dalam kepala gue. Hingga akhirnya ketika gue masuk ke sebuah
jalan rusak bebatuan, hati gue mulai berdebar. Tangan gue seakan mengalami tremor kecil saat memegang kendali mobil,
memindahkan perseneling, membayar 50 ribu untuk sepaket kembang, bunga dan air.
Debaran di hati dan tremor di tangan
semakin terasa ketika gue memasuki gapura usang berwarna abu-abu tampak tak terawat,
yang dijaga oleh 2 orang hansip tua berbaju hijau lusuh, yang berdiri di bawah
tulisan samar namu masih bisa sedikit terbaca “TPU Semper”. Gue mencoba
menghilangkan itu dengan membakar sebatang Dunhill Merah dan mengapitnya di
antara jari-jari tangan kanan gue. Tapi ternyata gak membantu. Hingga pada akhirnya debaran hati gue
memuncak ketika berdiri di depan sebuah makam, bertuliskan nama Ayah.
Kata-kata yang
bisa terucap dari mulut gue hanya salam dan hormat ta’zim kepada sang ahli
kubur. Gue taburkan kembang, gue siram dengan air, dan gue letakan 3 tangkai
bunga mawar berwarna merah, putih dan kuning di atas batu nisan. Gue mencoba
melantunkan Al-Fatihah, Yaasin dan doa se-khusyuk dan se-ikhlas
mungkin meskipun tanpa terasa pipi gue terasa panas karena lelehan air mata.
Selesai memanjatkan doa, bibir gue pun dengan tertatih mencoba berucap seakan
mengajak bicara Ayah yang sedang tertidur dalam peristirahatan terakhirnya. Gue
kasih tau kalau Mama sehat, adik gue udah kuliah semester 6, kakak gue yang
pertama udah punya anak yang lucu berumur 2 tahun, dan kakak gue yang kedua
masih bertahan dan konsisten dengan hobi lamanya, masak dan makan.
Sampai gue
tersadar matahari udah naik begitu terik membasahi kemeja hitam yang gue
kenakan, membasahi sekujur badan, yang seakan berlomba dengan air mata yang
membasahi pipi. Kemudian gue pun meminta izin untuk pamit pulang. Berjanji akan
bertemu dan mengunjungi beliau kembali.
Semua yang gue
lakukan hari ini seperti mengulang kembali kejadian di hampir setiap hari
Minggu saat gue kecil. Dulu, setiap hari Minggu gue selalu diajak Ayah untuk
pergi ke kantornya di daerah Tanjung Priok. Lewat jalan tol Wiyoto Wiyono.
Melihat megahnya gedung Gudang Garam -
pada zaman itu - yang memiliki jam raksasa di atas bangunannya. Sampai di
kantor, yang sebenarnya adalah rumah yang ia jadikan kantor, dia memeriksa
sekeliling sambil menyalakan sebatang Dunhill. Berbicara dengan anak buah
kepercayaannya yang selalu setia menunggu dan menjaga kantornya. Sedangkan gue
main-main, lari-lari, mengutak-atik segala sesuatu yang ada di ruang kerjanya. Setelah
gue mulai lelah dan bosan, yang ditandai dengan gue duduk bersandar terdiam di
bangku kerjanya, kemudian dia pun mengajak gue pulang. Sebelum sampai di rumah, biasanya kita mampir
untuk makan siang di Sederhana Rawamangun. Dari semua makanan yang tersaji di
meja, Rendang dan Telur Gulai selalu menjadi pilihan utamanya.
Sama seperti
hari ini. Hari Minggu ini gue menyusuri
jalan tol yang sama. Gue melewati kantor Gudang Garam - yang dimana gue sekarang kerja di gedung
itu. Impian gue dari kecil setiap hari minggu ternyata terkabul. Gue pelankan
laju mobil ketika melewati jalan masuk ke kantor yang sekarang sudah dibeli
orag lain dan difungsikan sebagai rumah tinggal. Gue menghisap sebatang Dunhill
Merah. Gue bermanja dan bersenda gurau di makam beliau. Setelah itu, gue mampir
ke Sederana Rawamangun memesan Rendang dan Telur Gulai. Lalu pulang dan
berisitirahat.
Hanya satu yang
membedakan. Jika dulu beliau masih ada di samping gue secara nyata. Sekarang,
masih ada di samping gue, namun dalam bentuk sebuah kenangan.
Allahumaghfirlahu,
warhamhu, wa’afihi, wa’fuanhu.
Salam rindu
dariku, untuk Minggu bersama Ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar