Minggu, 10 Juli 2016

Minggu bersama Ayah

Hari minggu ini masih dalam suasana libur setelah Lebaran. Mumpung masih liburan, gue ingin mengulang kebiasaan rutin gue setiap hari minggu yang udah lama gak sempet gue lakuin. Beberapa bulan terakhir gue hampir selalu gak ada di Jakarta karena waktu gue tersita dengan berbagai event dan meeting di luar kota. Kalaupun gue lagi di Jakarta, biasanya selepas sholat Subuh gue kembali terlelap dalam pelukan selimut, mendengkur syahdu, dan akhirnya terbangun kira-kira jam 2 siang demi untuk membalas waktu tidur gue yang hilang dan mengais-ngais tenaga untuk dikumpulkan, sebelum menghadapi hari-hari yang keras. Meskipun kesibukan ini gue nikmati, tapi tetep aja kangen dengan kegiatan pribadi, terlepas dari embel-embel kantor.

Akhirnya hari Minggu ini gue bangun pagi. Selepas sholat Subuh gue langsung mandi, siap-siap, dan berangkat gagah ke Sudirman. Yap, kebiasaan gue dulu setiap hari Minggu adalah lari pagi paling gak 10 KM. Bukan untuk menyombongkan diri, tapi di tahun 2014 gue berhasil menaklukan 21 KM dengan waktu 2 jam 40 menit di Jakarta Mandiri Marathon. Not bad, for the first time setelah 8 bulan gak lari pagi, which is ini lari pagi pertama gue di tahun 2016, 10 km bisa dilahap dengan waktu 1 jam dan 10 menit saja.

Seneng banget rasanya bisa lari pagi lagi. Karena saat lari pagi adalah waktu gue bener-bener sendiri dengan diri gue. Tanpa gangguan. Tanpa obrolan. Yang ada hanyalah gue merasakan hembusan angin yang menerpa di depan, mendengar dengusan nafas gue yang kadang tertatih tapi tersamar dengan derap langkah kaki melawan aspal, dan khayalan apapun yang lagi melintas di depan gue secara liar. Gue pernah coba iseng membandingkan bagaimana gue menjalani hari-hari gue setelah lari pagi di hari Minggu.

Entah kebetulan atau tidak, dengan berbagai asumsi dan menihilkan faktor lain, tapi biasanya hari-hari gue setelah lari pagi di hari Minggu terasa lebih menyenangkan, enteng dan mengasyikan. Mungkin betul apa yang dibilang sama Sasha Azeveda bahwa “running is one of the best solutions to clear the mind”. Atas dasar itu pada akhirnya gue selalu menyempatkan diri untuk lari pagi di hari Minggu, seperti hari ini.

Setelah berpeluh keringat, gue biasanya mengakhiri sesi lari di sebuah warung kopi Jalan Sabang, namanya Saudagar Kopi. Tapi sayangnya hari ini masih tutup, mungkin masih libur Lebaran. Hingga akhirnya gue mengganti kenikmatan ngopi pagi dengan sarapan Soto Padang di depan Gerbang Utama Masjid Sunda Kelapa. Iya emang gak sebanding. Tapi lapar itu gak bisa bohong.

Tapi, selain bernostalgia dengan hari-hari Minggu gue beberapa tahun ini, entah kenapa gue juga pengen bernostalgia dengan hari-hari Minggu waktu gue masih kecil. Sehingga setelah kenyang makan Soto Padang, numpang ganti baju dan sholat Dhuha di Sunda Kelapa, gue memantapan diri melajukan mobil ke daerah Tanjung Priok.

Sepanjang perjalanan senyum selalu tersungging di bibir gue. Kenangan masa kecil terlintas indah di dalam kepala gue. Hingga akhirnya ketika gue masuk ke sebuah jalan rusak bebatuan, hati gue mulai berdebar. Tangan gue seakan mengalami tremor kecil saat memegang kendali mobil, memindahkan perseneling, membayar 50 ribu untuk sepaket kembang, bunga dan air. Debaran di hati dan tremor di tangan semakin terasa ketika gue memasuki gapura usang berwarna abu-abu tampak tak terawat, yang dijaga oleh 2 orang hansip tua berbaju hijau lusuh, yang berdiri di bawah tulisan samar namu masih bisa sedikit terbaca “TPU Semper”. Gue mencoba menghilangkan itu dengan membakar sebatang Dunhill Merah dan mengapitnya di antara jari-jari tangan kanan gue. Tapi ternyata gak membantu.  Hingga pada akhirnya debaran hati gue memuncak ketika berdiri di depan sebuah makam, bertuliskan nama Ayah.

Kata-kata yang bisa terucap dari mulut gue hanya salam dan hormat ta’zim kepada sang ahli kubur. Gue taburkan kembang, gue siram dengan air, dan gue letakan 3 tangkai bunga mawar berwarna merah, putih dan kuning di atas batu nisan. Gue mencoba melantunkan Al-Fatihah, Yaasin dan doa se-khusyuk dan se-ikhlas mungkin meskipun tanpa terasa pipi gue terasa panas karena lelehan air mata. Selesai memanjatkan doa, bibir gue pun dengan tertatih mencoba berucap seakan mengajak bicara Ayah yang sedang tertidur dalam peristirahatan terakhirnya. Gue kasih tau kalau Mama sehat, adik gue udah kuliah semester 6, kakak gue yang pertama udah punya anak yang lucu berumur 2 tahun, dan kakak gue yang kedua masih bertahan dan konsisten dengan hobi lamanya, masak dan makan.

Sampai gue tersadar matahari udah naik begitu terik membasahi kemeja hitam yang gue kenakan, membasahi sekujur badan, yang seakan berlomba dengan air mata yang membasahi pipi. Kemudian gue pun meminta izin untuk pamit pulang. Berjanji akan bertemu dan mengunjungi beliau kembali.


Semua yang gue lakukan hari ini seperti mengulang kembali kejadian di hampir setiap hari Minggu saat gue kecil. Dulu, setiap hari Minggu gue selalu diajak Ayah untuk pergi ke kantornya di daerah Tanjung Priok. Lewat jalan tol Wiyoto Wiyono. Melihat megahnya gedung Gudang Garam  - pada zaman itu - yang memiliki jam raksasa di atas bangunannya. Sampai di kantor, yang sebenarnya adalah rumah yang ia jadikan kantor, dia memeriksa sekeliling sambil menyalakan sebatang Dunhill. Berbicara dengan anak buah kepercayaannya yang selalu setia menunggu dan menjaga kantornya. Sedangkan gue main-main, lari-lari, mengutak-atik segala sesuatu yang ada di ruang kerjanya. Setelah gue mulai lelah dan bosan, yang ditandai dengan gue duduk bersandar terdiam di bangku kerjanya, kemudian dia pun mengajak gue pulang.  Sebelum sampai di rumah, biasanya kita mampir untuk makan siang di Sederhana Rawamangun. Dari semua makanan yang tersaji di meja, Rendang dan Telur Gulai selalu menjadi pilihan utamanya.


Sama seperti hari ini. Hari  Minggu ini gue menyusuri jalan tol yang sama. Gue melewati kantor Gudang Garam  - yang dimana gue sekarang kerja di gedung itu. Impian gue dari kecil setiap hari minggu ternyata terkabul. Gue pelankan laju mobil ketika melewati jalan masuk ke kantor yang sekarang sudah dibeli orag lain dan difungsikan sebagai rumah tinggal. Gue menghisap sebatang Dunhill Merah. Gue bermanja dan bersenda gurau di makam beliau. Setelah itu, gue mampir ke Sederana Rawamangun memesan Rendang dan Telur Gulai. Lalu pulang dan berisitirahat.


Hanya satu yang membedakan. Jika dulu beliau masih ada di samping gue secara nyata. Sekarang, masih ada di samping gue, namun dalam bentuk sebuah kenangan.

Allahumaghfirlahu, warhamhu, wa’afihi, wa’fuanhu.

Salam rindu dariku, untuk Minggu bersama Ayah.

Tidak ada komentar: